Kaget! Negara Surga Maladewa Ternyata Punya Angka Perceraian Tertinggi di Dunia, Kok Bisa?

Menjelajahi daftar negara dengan tingkat perceraian tertinggi, mengungkap fakta mengejutkan di balik surga tropis Maladewa hingga negara-negara Eropa Timur, serta faktor sosial yang memengaruhinya.
Menjelajahi daftar negara dengan tingkat perceraian tertinggi, mengungkap fakta mengejutkan di balik surga tropis Maladewa hingga negara-negara Eropa Timur, serta faktor sosial yang memengaruhinya.

Bicara soal pernikahan, banyak orang membayangkan sebuah ikatan suci yang bertahan seumur hidup. Namun, data statistik global menunjukkan cerita yang berbeda. Tingkat perceraian di berbagai negara bisa menjadi cermin dari perubahan sosial, pergeseran nilai-nilai budaya, hingga kondisi ekonomi yang dinamis. Ini bukan sekadar angka, melainkan potret bagaimana manusia modern memandang komitmen dan kebahagiaan individu.

Anda mungkin berpikir negara-negara Barat yang liberal akan mendominasi daftar ini, tapi siap-siap terkejut. Peringkat teratas justru diduduki oleh negara yang tak pernah kita duga: surga tropis yang menjadi destinasi bulan madu impian banyak pasangan. Ya, negara dengan tingkat perceraian tertinggi di dunia adalah Maladewa.

Dalam postingan ini, kita akan mengupas tuntas daftar negara-negara dengan angka perceraian tertinggi di dunia. Kita akan melihat faktor-faktor unik di balik setiap peringkat, mulai dari kemudahan hukum, tekanan ekonomi, hingga pergeseran peran gender. Mari kita selami data mengejutkan ini dan pahami mengapa 'berpisah' menjadi pilihan yang semakin umum di berbagai belahan dunia.



Peringkat Cerai Dunia Mengejutkan

  • No. 1 Maladewa - 5,52%
  • No. 2 Kazakhstan - 4,6%
  • No. 3 Rusia - 3,9%
  • No. 4 Belgia - 3,7%
  • No. 4 Belarus - 3,7%
  • No. 6 Moldova - 3,3%
  • No. 7 Cina - 3,2%
  • No. 8 Kuba - 2,9%
  • No. 9 Ukraina - 2,88%
  • No. 10 Latvia - 2,7%
  • No. 10 Denmark - 2,7%
  • No. 10 AS - 2,7%
  • No. 10 Lituania - 2,7%



No. 10 Lituania - 2,7%

Tingkat perceraian di Lituania adalah hasil dari transisi ekonomi pasca-Soviet yang penuh tantangan dan pergeseran ke arah nilai-nilai sosial yang lebih liberal dan individualistis.
Tingkat perceraian di Lituania adalah hasil dari transisi ekonomi pasca-Soviet yang penuh tantangan dan pergeseran ke arah nilai-nilai sosial yang lebih liberal dan individualistis.

Lituania, negara Baltik lainnya dalam daftar ini, berbagi banyak karakteristik sosial dan historis dengan Latvia dan Estonia yang berkontribusi pada tingkat perceraiannya. Transisi cepat dari komunisme ke kapitalisme pasar membawa perubahan sosial yang dramatis dan ketidakpastian ekonomi. Tekanan untuk beradaptasi dengan realitas ekonomi baru seringkali menjadi beban berat bagi hubungan pernikahan.

Selain itu, seperti di negara-negara Eropa Utara lainnya, ada pergeseran dari nilai-nilai keluarga tradisional ke pandangan yang lebih liberal dan individualistis. Pernikahan semakin dipandang sebagai pilihan pribadi daripada kewajiban sosial. Dengan proses hukum yang sederhana dan stigma yang berkurang, pasangan di Lituania lebih cenderung memilih perceraian ketika menghadapi masalah yang tidak dapat diselesaikan dalam pernikahan mereka.



No. 10 AS - 2,7%

Meskipun menurun, tingkat perceraian di AS tetap tinggi, didorong oleh budaya yang memprioritaskan kebahagiaan individu dan sistem hukum yang mempermudah proses perpisahan.
Meskipun menurun, tingkat perceraian di AS tetap tinggi, didorong oleh budaya yang memprioritaskan kebahagiaan individu dan sistem hukum yang mempermudah proses perpisahan.

Tingkat perceraian di Amerika Serikat (AS) sebenarnya telah menurun dari puncaknya pada tahun 1980-an, tetapi masih tetap termasuk yang tertinggi di antara negara-negara maju. Budaya Amerika sangat menekankan pada cinta romantis dan kebahagiaan individu sebagai dasar pernikahan, yang terkadang menciptakan ekspektasi yang tidak realistis. Ketika kenyataan tidak sesuai dengan ideal, perceraian seringkali dilihat sebagai cara untuk mendapatkan 'kesempatan kedua' untuk menemukan kebahagiaan.

Penerapan luas hukum perceraian tanpa kesalahan ('no-fault divorce') sejak tahun 1970-an telah membuat proses perpisahan menjadi jauh lebih mudah di seluruh negeri. Namun, penting untuk dicatat bahwa angka perceraian sangat bervariasi di AS berdasarkan faktor-faktor seperti tingkat pendapatan, pendidikan, afiliasi agama, dan bahkan geografi. Fenomena ini mencerminkan keragaman sosial dan budaya yang sangat besar di dalam negara itu sendiri.



No. 10 Denmark - 2,7%

Di Denmark, angka perceraian yang tinggi didukung oleh nilai-nilai individualisme, kesetaraan gender, dan sistem kesejahteraan negara yang kuat yang menghilangkan hambatan finansial untuk berpisah.
Di Denmark, angka perceraian yang tinggi didukung oleh nilai-nilai individualisme, kesetaraan gender, dan sistem kesejahteraan negara yang kuat yang menghilangkan hambatan finansial untuk berpisah.

Tingginya tingkat perceraian di Denmark, dan di Skandinavia pada umumnya, harus dilihat dalam konteks masyarakat yang sangat individualistis dengan jaring pengaman sosial yang kuat. Di sini, pernikahan sering dianggap sebagai kontrak antara dua individu yang setara untuk mengejar kebahagiaan bersama. Ketika kebahagiaan itu memudar, perceraian dianggap sebagai solusi yang logis dan sehat, bukan sebagai kegagalan moral.

Sistem negara kesejahteraan (welfare state) Denmark memberikan dukungan finansial yang kuat bagi orang tua tunggal, tunjangan anak, dan perumahan yang terjangkau. Ini secara signifikan mengurangi hambatan ekonomi untuk bercerai, terutama bagi perempuan. Dengan kesetaraan gender yang telah mendarah daging dalam budaya dan hukum, baik pria maupun wanita merasa berdaya untuk memulai hidup baru secara mandiri setelah pernikahan berakhir.



No. 10 Latvia - 2,7%

Tingginya angka perceraian di Latvia mencerminkan pergeseran budaya yang lebih luas, di mana pernikahan tradisional tidak lagi dominan dan perpisahan diterima secara sosial.
Tingginya angka perceraian di Latvia mencerminkan pergeseran budaya yang lebih luas, di mana pernikahan tradisional tidak lagi dominan dan perpisahan diterima secara sosial.

Latvia, bersama dengan negara-negara Baltik lainnya, menunjukkan pergeseran pandangan yang signifikan terhadap institusi pernikahan sejak memperoleh kembali kemerdekaannya. Angka perceraian yang tinggi berjalan seiring dengan tingginya tingkat kelahiran di luar nikah dan pasangan yang memilih untuk hidup bersama tanpa menikah (kohabitasi). Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan tradisional tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk membentuk keluarga atau memiliki anak.

Seperti negara tetangganya, Latvia juga mengalami transisi ekonomi yang sulit setelah jatuhnya Uni Soviet, yang memberikan tekanan finansial pada banyak keluarga. Proses perceraian yang relatif mudah dan kurangnya stigma sosial membuat perpisahan menjadi pilihan yang dapat diterima ketika hubungan tidak lagi berjalan. Akibatnya, lanskap keluarga di Latvia menjadi lebih cair dan beragam, dengan perceraian menjadi salah satu dari banyak kemungkinan transisi dalam siklus kehidupan.



No. 9 Ukraina - 2,88%

Tingkat perceraian di Ukraina mencerminkan tantangan sosio-ekonomi yang khas di kawasan pasca-Soviet, yang kini diperparah oleh tekanan ekstrem akibat konflik yang sedang berlangsung.
Tingkat perceraian di Ukraina mencerminkan tantangan sosio-ekonomi yang khas di kawasan pasca-Soviet, yang kini diperparah oleh tekanan ekstrem akibat konflik yang sedang berlangsung.

Seperti banyak negara Eropa Timur lainnya, Ukraina telah lama berjuang dengan tingkat perceraian yang tinggi. Faktor-faktor historis seperti hukum era Soviet yang permisif dan tantangan ekonomi pasca-kemerdekaan menjadi fondasi dari tren ini. Ketidakstabilan finansial, pengangguran, dan upah rendah seringkali menjadi sumber stres utama yang merusak hubungan pernikahan. Selain itu, isu-isu sosial seperti alkoholisme juga memainkan peran yang tidak kecil dalam konflik domestik.

Dalam konteks yang lebih baru, konflik yang sedang berlangsung telah menambah lapisan tekanan yang tak terbayangkan pada keluarga Ukraina. Jutaan orang terpaksa mengungsi, mengalami trauma, dan hidup dalam ketidakpastian ekstrem, yang semuanya dapat memperburuk masalah yang sudah ada atau menciptakan keretakan baru dalam hubungan. Meskipun data ini mungkin tidak sepenuhnya mencakup dampak invasi skala penuh, jelas bahwa krisis kemanusiaan ini akan terus memengaruhi stabilitas keluarga di tahun-tahun mendatang.



No. 8 Kuba - 2,9%

Di Kuba, hukum perceraian yang sangat mudah, kesetaraan gender yang dipromosikan negara, dan tekanan ekonomi yang parah berkontribusi pada salah satu tingkat perceraian tertinggi di kawasan itu.
Di Kuba, hukum perceraian yang sangat mudah, kesetaraan gender yang dipromosikan negara, dan tekanan ekonomi yang parah berkontribusi pada salah satu tingkat perceraian tertinggi di kawasan itu.

Kuba memiliki salah satu tingkat perceraian tertinggi di Amerika Latin, yang dapat diatribusikan pada kombinasi faktor hukum, sosial, dan ekonomi. Sejak revolusi, pemerintah Kuba telah mempromosikan kesetaraan gender dan membuat proses perceraian menjadi sangat mudah diakses dan murah, sejalan dengan ideologi sosialis. Akibatnya, perceraian tidak membawa stigma sosial yang besar dan diterima sebagai bagian normal dari kehidupan.

Namun, kondisi ekonomi yang kronis sulit, termasuk krisis perumahan yang parah, memberikan tekanan luar biasa pada pasangan. Banyak keluarga terpaksa hidup dalam ruang yang sempit bersama beberapa generasi, yang dapat memicu konflik terus-menerus. Kombinasi antara kemudahan hukum untuk berpisah dan kesulitan ekonomi untuk hidup bersama menciptakan lingkungan di mana perceraian seringkali menjadi jalan keluar yang paling masuk akal.



No. 7 Cina - 3,2%

Didorong oleh modernisasi dan kemandirian finansial wanita, tingkat perceraian di Cina meroket, bahkan memaksa pemerintah untuk memberlakukan kebijakan 'masa tenang'.
Didorong oleh modernisasi dan kemandirian finansial wanita, tingkat perceraian di Cina meroket, bahkan memaksa pemerintah untuk memberlakukan kebijakan 'masa tenang'.

Kenaikan pesat angka perceraian di Cina adalah fenomena yang relatif baru, sejalan dengan ledakan ekonominya selama beberapa dekade terakhir. Modernisasi telah membawa perubahan besar dalam nilai-nilai sosial; generasi muda kini lebih menekankan kebahagiaan dan kompatibilitas individu daripada sekadar memenuhi harapan keluarga atau masyarakat. Peningkatan tingkat pendidikan dan partisipasi angkatan kerja perempuan secara dramatis telah memberi mereka otonomi finansial untuk meninggalkan pernikahan yang tidak memuaskan.

Menanggapi tren ini, pemerintah Cina bahkan memberlakukan kebijakan 'masa tenang' (cooling-off period) selama 30 hari pada tahun 2021, di mana pasangan yang mengajukan gugatan cerai harus menunggu sebelum prosesnya dapat diselesaikan. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah perceraian impulsif, namun juga menimbulkan kontroversi. Fakta bahwa pemerintah merasa perlu untuk campur tangan menunjukkan betapa signifikannya masalah perceraian di negara dengan populasi terbesar di dunia ini.



No. 6 Moldova - 3,3%

Migrasi ekonomi massal adalah pendorong utama tingginya angka perceraian di Moldova, di mana perpisahan jarak jauh untuk bekerja seringkali menghancurkan ikatan pernikahan.
Migrasi ekonomi massal adalah pendorong utama tingginya angka perceraian di Moldova, di mana perpisahan jarak jauh untuk bekerja seringkali menghancurkan ikatan pernikahan.

Tingkat perceraian yang tinggi di Moldova sangat terkait dengan statusnya sebagai salah satu negara termiskin di Eropa. Kondisi ekonomi yang sulit memaksa sebagian besar populasi usia kerja untuk mencari pekerjaan di luar negeri, terutama di Rusia dan negara-negara Uni Eropa. Fenomena migrasi massal ini menciptakan banyak keluarga 'jarak jauh', di mana pasangan hidup terpisah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Perpisahan fisik yang berkepanjangan ini seringkali menyebabkan keretakan emosional, perselingkuhan, dan pada akhirnya perceraian. Anak-anak seringkali ditinggalkan dalam pengasuhan kakek-nenek atau kerabat lain, yang menambah beban sosial dan psikologis pada keluarga. Bagi Moldova, angka perceraian bukan hanya statistik, tetapi juga gejala dari masalah ekonomi struktural yang lebih dalam yang merusak fondasi unit keluarga.



No. 4 Belarus - 3,7%

Seperti negara tetangganya di kawasan pasca-Soviet, tingkat perceraian Belarus yang tinggi sangat dipengaruhi oleh tekanan ekonomi, isu sosial, dan warisan hukum yang mempermudah perpisahan.
Seperti negara tetangganya di kawasan pasca-Soviet, tingkat perceraian Belarus yang tinggi sangat dipengaruhi oleh tekanan ekonomi, isu sosial, dan warisan hukum yang mempermudah perpisahan.

Berada di peringkat yang sama dengan Belgia, namun dengan alasan yang sangat berbeda, Belarus menunjukkan pola yang serupa dengan negara tetangganya, Rusia dan Ukraina. Sebagai negara bekas Uni Soviet, Belarus memiliki kerangka hukum yang memfasilitasi perceraian dengan mudah. Faktor ekonomi memainkan peran yang sangat signifikan; upah yang rendah dan ketidakpastian kerja seringkali menciptakan stres dan ketegangan dalam rumah tangga, yang pada akhirnya berujung pada perpisahan.

Selain itu, masalah sosial seperti penyalahgunaan alkohol juga menjadi kontributor signifikan terhadap ketidakharmonisan keluarga. Perubahan demografis, termasuk migrasi tenaga kerja ke luar negeri, juga dapat merenggangkan hubungan pasangan suami istri. Dengan demikian, tingginya tingkat perceraian di Belarus adalah cerminan dari tantangan sosio-ekonomi yang kompleks yang dihadapi negara tersebut sejak era pasca-Soviet.



No. 4 Belgia - 3,7%

Tingginya angka perceraian di Belgia mencerminkan nilai-nilai individualisme, kemandirian finansial wanita, dan sistem hukum liberal yang didukung oleh jaminan sosial yang kuat.
Tingginya angka perceraian di Belgia mencerminkan nilai-nilai individualisme, kemandirian finansial wanita, dan sistem hukum liberal yang didukung oleh jaminan sosial yang kuat.

Sebagai negara maju di Eropa Barat, tingginya angka perceraian di Belgia didorong oleh faktor yang berbeda dari negara-negara bekas Soviet. Di sini, penekanan kuat pada hak-hak individu, kebebasan personal, dan kesetaraan gender menjadi pendorong utamanya. Sistem hukum di Belgia mendukung perceraian tanpa perlu menyalahkan salah satu pihak ('no-fault divorce'), yang membuat prosesnya lebih cepat dan tidak terlalu konfrontatif. Kemandirian finansial perempuan yang tinggi juga berarti mereka tidak terikat dalam pernikahan karena alasan ekonomi.

Masyarakat Belgia cenderung memandang pernikahan sebagai sebuah kemitraan yang didasarkan pada kebahagiaan dan pemenuhan diri, bukan sebagai kewajiban seumur hidup. Ketika hubungan tersebut tidak lagi berfungsi, perceraian dianggap sebagai langkah yang rasional dan dapat diterima secara sosial. Negara juga menyediakan jaring pengaman sosial yang kuat untuk orang tua tunggal, yang mengurangi kekhawatiran finansial pasca-perceraian.



No. 3 Rusia - 3,9%

Di Rusia, tingkat perceraian yang tinggi merupakan kombinasi dari warisan hukum Soviet yang liberal, masalah ekonomi kronis, dan isu sosial seperti alkoholisme.
Di Rusia, tingkat perceraian yang tinggi merupakan kombinasi dari warisan hukum Soviet yang liberal, masalah ekonomi kronis, dan isu sosial seperti alkoholisme.

Rusia secara konsisten berada di jajaran atas negara dengan tingkat perceraian tertinggi, sebuah tren yang juga berakar dari era Soviet. Pada masa itu, perceraian dipermudah untuk membebaskan individu dari ikatan 'borjuis' dan mendorong kesetaraan gender. Namun, warisan ini terus berlanjut dengan tantangan modern, seperti kesulitan ekonomi yang meluas, masalah perumahan yang memaksa pasangan muda tinggal bersama mertua, dan tingkat alkoholisme yang tinggi, yang sering disebut sebagai penyebab utama pertengkaran domestik.

Pemerintah Rusia sebenarnya telah mencoba untuk mengatasi masalah ini dengan mempromosikan 'nilai-nilai keluarga tradisional' dan bahkan mempersulit proses perceraian. Namun, upaya tersebut tampaknya belum cukup efektif untuk mengubah tren yang sudah mengakar kuat. Bagi banyak orang Rusia, perceraian dilihat sebagai solusi pragmatis untuk keluar dari situasi yang tidak membahagiakan, ketimbang menahannya demi mempertahankan status pernikahan.



No. 2 Kazakhstan - 4,6%

Tingkat perceraian tinggi di Kazakhstan dipicu oleh warisan hukum Soviet, tekanan ekonomi, dan pergeseran nilai-nilai sosial akibat urbanisasi dan modernisasi.
Tingkat perceraian tinggi di Kazakhstan dipicu oleh warisan hukum Soviet, tekanan ekonomi, dan pergeseran nilai-nilai sosial akibat urbanisasi dan modernisasi.

Sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet, Kazakhstan mewarisi sistem hukum yang membuat perceraian menjadi proses yang tidak rumit secara birokrasi. Tingginya angka perceraian di sini mencerminkan pergeseran besar dalam struktur sosial dan ekonomi sejak kemerdekaannya. Banyak pasangan menghadapi tekanan ekonomi yang berat, yang seringkali menjadi pemicu utama konflik dalam rumah tangga. Perubahan peran gender, di mana semakin banyak perempuan yang mandiri secara finansial, juga memberi mereka pilihan untuk keluar dari pernikahan yang tidak bahagia.

Selain faktor ekonomi, urbanisasi yang pesat juga mengubah dinamika keluarga tradisional. Banyak generasi muda yang pindah ke kota besar mengadopsi gaya hidup yang lebih individualistis, berbeda dari nilai-nilai kolektif yang dipegang oleh generasi sebelumnya. Kombinasi antara warisan hukum yang liberal, tantangan ekonomi, dan modernisasi sosial menjadikan Kazakhstan sebagai salah satu negara dengan stabilitas pernikahan yang rapuh.



No. 1 Maladewa - 5,52%

Ironisnya, surga bulan madu Maladewa memiliki tingkat perceraian tertinggi di dunia karena kemudahan proses cerai menurut hukum lokal dan rendahnya stigma sosial.
Ironisnya, surga bulan madu Maladewa memiliki tingkat perceraian tertinggi di dunia karena kemudahan proses cerai menurut hukum lokal dan rendahnya stigma sosial.

Siapa sangka, negara yang terkenal sebagai destinasi bulan madu paling romantis di dunia ini justru memegang rekor tingkat perceraian tertinggi secara global. Angka 5,52 per 1.000 penduduk ini sangat kontras dengan citra vila di atas air dan pantai pasir putihnya. Fenomena ini dipengaruhi oleh kombinasi unik antara hukum, budaya, dan norma sosial yang berlaku di Maladewa. Salah satu faktor utamanya adalah interpretasi hukum Islam (Syariah) yang membuat proses perceraian, terutama 'talak' dari pihak suami, menjadi relatif mudah dan cepat.

Selain itu, stigma sosial terhadap perceraian di Maladewa tidak sekuat di banyak negara lain, sehingga perceraian dan pernikahan kembali adalah hal yang sangat umum terjadi. Tingginya angka pernikahan di usia muda juga berkontribusi pada statistik ini, di mana banyak pasangan yang belum matang secara emosional dan finansial. Jadi, di balik keindahan alamnya yang memukau, Maladewa menyimpan realitas sosial yang kompleks tentang institusi pernikahan.



© Copyright 2025 ASUMUP